PARLEMEN yang dikuasai oposisi bisa menjadi mimpi buruk bagi presiden dan pemerintahannya di negara mana pun. Ancaman mimpi buruk itu pula yang menjadi kenyataan di Gedung MPR, kemarin dini hari.
Koalisi Merah Putih yang telah merebut kursi pimpinan DPR juga memenangi kursi pimpinan MPR. Paket yang mereka usung memperoleh 347 suara, sedangkan paket yang diusung koalisi pendukung Joko Widodo-Jusuf Kalla meraup 330 suara.
Dominasi komposisi parlemen di tangan oposisi tersebut bisa menjadi modal kuat untuk menjegal pemerintahan, bahkan memakzulkan presiden. Karena itu, wajar jika presiden terpilih merasa waswas. Begitu pula normal-normal saja jika rakyat juga merasa khawatir aspirasi mereka terkebiri karena aksi sapu bersih pimpinan lembaga tinggi negara tersebut kental dengan aroma balas dendam atas kekalahan di pemilihan presiden.
Wajar belaka pula jika manuver politik di Senayan dalam sepekan terakhir membuat sentimen pasar uang dan pasar modal negatif. Indeks harga saham gabungan kembali turun dan nilai rupiah anjlok. Bahkan, investor asing pun kembali menarik dana mereka hingga lebih dari Rp3 triliun dalam kurun kurang dari sepekan.
Namun, terus-menerus waswas dan kecewa jelas tidak akan menolong keadaan. Karena itu, presiden dan wakil presiden terpilih Jokowi-JK mesti realistis dan segera bergerak merapat kembali ke rakyat.
Karena Jokowi pemimpin yang akrab dengan jalan terjal perjuangan, kekalahan di parlemen bukanlah kiamat sehingga harus terus diratapi. Berbagai manuver politik di Senayan juga bukan pula sesuatu yang membuat Jokowi mesti gamang akan kekuasaan yang hendak dijalaninya.
Karena menjadi presiden yang lahir dari rakyat, Jokowi harus percaya sepenuhnya bahwa rakyatlah yang bisa menjadi kekuatan yang utama, selain soliditas partai pendukung. Terlebih lagi berdasarkan survei yang dilakukan sejumlah lembaga, tingkat kepercayaan rakyat terhadap Jokowi-JK naik bahkan mencapai 71,73%, melebihi perolehan suara mereka yang 53,15%.
Meski begitu, bukan berarti pula Jokowi-JK boleh jemawa dengan tingkat kepercayaan publik yang terus menanjak tersebut. Justru 'tabungan' kepercayaan itulah yang kini mesti dirawat dan dipupuk kembali.
Jarak dengan rakyat yang sempat terjadi selama masa transisi harus dihilangkan. Rakyat akan menjadi koalisi terkuat hanya jika presiden hadir di tengah-tengah dan menjawab aspirasi rakyat.
Dalam jangka pendek, misalnya, Jokowi harus menuangkan kedekatan dengan rakyat itu melalui pembentukan kabinet yang profesional. Jokowi harus bisa menempatkan sosok-sosok yang kompeten, berkomitmen, serta berintegritas dalam kabinetnya kelak. Bagi-bagi kue kekuasaan harus disingkirkan dari kabinet tersebut.
Hanya dengan kabinet yang bersih tersebut, Jokowi akan mampu memperjuangkan program kerjanya. Lebih dari itu, jika ia dan kabinetnya mampu menjadi pemerintahan yang tidak lekas lelah dan tidak bosan bekerja untuk rakyat, pada akhirnya kemenangan sejati akan didapat. Kepercayaan rakyat akan mengalir ke pemerintah dan bukan pada elite di parlemen yang kerap disebut wakil rakyat.
Sebaliknya, jika nafsu kekuasaan semata yang dijunjung, bukan tidak mungkin mimpi lebih buruk yang akan datang. Seperti yang telah terjadi pada pemerintahan sebelumnya, kebijakan yang tidak tegas dan tidak prorakyat justru akan membuat kepercayaan rakyat terkikis.
Presiden pun bisa ditinggalkan bahkan sebelum pemerintahannya selesai. Kita tentu sangat tidak menghendaki situasi seperti itu.