Menjaga MPR dari Kesumat

08 Oktober 2014 07:22

PERTARUNGAN memperebutkan posisi pimpinan Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) kemarin kembali memperlihatkan adanya kontradiksi konstruksi kepentingan antara kubu yang menjunjung cita-cita menjaga amanat dan kepercayaan rakyat di satu sisi, dan kubu yang menghalalkan semua cara untuk melayani nafsu kekuasaan di sisi lain.

Sapu bersih posisi pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) pekan lalu belum membuat puas fraksi pendukung Prabowo yang tergabung dalam Koalisi Merah Putih (KMP). Demi menyempurnakan target sapu bersihnya, mereka mati-matian mendapatkan posisi Ketua MPR sekalipun dalam prosesnya harus menyingkirkan penghormatan mereka kepada Dewan Perwakilan Daerah (DPD) sebagai institusi.

DPD yang telah berbesar hati menawarkan diri sebagai penyeimbang antara mereka dan kubu Koalisi Indonesia Hebat pendukung Jokowi-JK tidak mereka gubris. Bahkan dengan kearoganan tinggi, kubu KMP tak mau menerima, apalagi menghormati, keputusan DPD yang telah memilih salah satu anggotanya untuk diajukan dalam paket calon pimpinan MPR.

Hal itu pula yang membuat Sidang Paripurna MPR berlangsung bertele-tele dan molor hingga tadi malam. Amat memiriskan karena semua itu demi menuntaskan kehendak sebagian kelompok yang ingin menancapkan kekuasaan di segala lini.

Mereka tak peduli meskipun yang mereka sajikan ialah tontonan yang buruk, amat buruk, bagi rakyat. Mereka tidak ambil pusing sekalipun itu membuat pasar dan investor takut hingga menarik sebagian dana mereka dari Indonesia.

Amat gamblang terlihat KMP ingin menguasai MPR sebagai bagian 'politik balas dendam' mereka seusai kalah pada pemilihan presiden lalu.

Memang, jika dibandingkan dengan masa sebelum reformasi, sebelum amendemen UUD 1945, posisi MPR sekarang tak sekuat dulu. Ia bukan lagi lembaga tertinggi negara, melainkan sejajar dengan lembaga tinggi lain. 

MPR bukan lagi sebagai pemegang sepenuhnya kedaulatan rakyat, melainkan berperan sebagai pelaksana atas aspirasi dari rakyat.

Namun, secara kewenangan dan fungsinya, MPR tetaplah superior karena merupakan satu-satunya lembaga negara yang memiliki fungsi mengubah dan menetapkan UUD. MPR juga dapat memberhentikan presiden dan atau wakil presiden dalam masa jabatannya menurut UUD.

Karena itu, meski baru sayup-sayup kita dengar, publik pun patut khawatir kengototan kubu pendukung Prabowo menguasai pimpinan MPR boleh jadi dilakukan demi tujuan-tujuan yang ingin mengembalikan pendulum demokrasi di negeri ini kembali ke titik nol.

Kita tentu belum lupa ketika koalisi itu berhasil mengubah pemilihan kepala daerah secara langsung menjadi pilkada melalui DPRD. Bukan mustahil, dengan menggunakan wewenang MPR, mereka ingin mengamendemen UUD agar nantinya presiden tidak lagi dipilih rakyat, tapi MPR.

Kekhawatiran lain ialah kekuasaan MPR akan dimanfaatkan untuk memakzulkan presiden jika mereka memang sudah gelap mata demi memainkan strategi politik bumi hangus.

Jika kita masih sepakat bahwa demokrasi ialah satu-satunya sistem politik yang kita anut, keinginan-keinginan kelompok seperti itu mestinya tak boleh diberi ruang. Kini menjadi tugas semua pihak untuk mendudukkan demokrasi pada tempat yang benar. MPR dengan jajaran pimpinannya yang baru mesti menjunjung tinggi esensi demokrasi, yaitu kemauan mendengar suara rakyat. MPR bukan ajang untuk menuntaskan nafsu dan kepentingan kelompok.



Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
dan follow Channel WhatsApp Medcom.id

Editorial MI Video Parlemen

Editorial MI Video Parlemen