Sudut Pandang: Di Balik Tembok Keraton

15 Agustus 2014 14:56

Sudut Pandang: Ke Jogjakarta kami bertemu dengan para putri, anak Sang Raja. Tak hanya seorang putri saja, tetapi ada 5 putri yang berbagi kisah dengan kami. Memiliki darah bangsawan, kehidupan para putri selalu diidentikkan dengan kemewahan. Nyatanya, kehidupan mereka sangat dekat dengan kesederhanaan. Di tengah gempuran modernisasi, mereka tak hanya berjuang untuk mempertahankan eksistensi, tetapi turut berupaya melestarikan tradisi. Siapa mereka dan apa saja kiprahnya? GKR Pembayun, terlahir sebagai anak sulung dari Sultan Hamengkubuwono X. Tidak seperti kisah putri di dalam dongeng. Kehidupan Putri Keraton Jogja ini justru jauh dari kesan mewah dan glamor. Putri keraton yang dikaruniai dua anak, putra putri ini memiliki segudang aktivitas sosial. Meski mengaku tidak tertarik dengan dunia politik maupun bisnis, namun GKR Pembayun mendedikasikan diri untuk mengabdi pada rakyat. Bersama ke-empat adiknya ia bertekad mempertahankan keberadaan Keraton dan bersedia mengemban tugas-tugas yang kini disandangnya sebagai calon masa depan keraton.

Sejak GPBH Joyokusumo, adik Sultan HB X tutup usia Bulan Desember tahun lalu, tugas-tugas yang selama ini diembannya kini diserahkan kepada GKR Condrokirono. Kini putri kedua Sultan HB X ini menjabat sebagai Pengageng Kawedanan Hageng Panitropuro (semacam sekretariat Negara), menggantikan sang paman. Putri yang dikenal dengan nama lahir RAj. Nurmagupita atau Jeng Ita ini tak hanya memiliki hobby menari, GKR Condrokirono juga dikenal sebagai sosok yang aktif dan peduli dengan permasalahan kekerasan terhadap perempuan dan anak. Memiliki seorang putra yang menginjak dewasa, dan menjadi single parent, GKR Condrokirono menyadari bahwa memiliki keluarga besar dan kedua orangtua yang mendukungnya dalam mendidik anak adalah satu keberuntungannya.

Memiliki hobby memasak namun tomboy, itulah gambaran putri ketiga Sultan HB X ini. Sejak kecil GKR Maduretno merasa lebih dekat pada sang ayah. Selain memiliki banyak kesamaan hobby dengan sang ayah, sosok ayah baginya juga menjadi teman kala bermain layang-layang. Putri yang memiliki nama lahir RAj. Nurkamnari Dewi merasa beruntung. Bersama kedua kakaknya ia sempat menikmati masa kecil mereka dengan tinggal diluar tembok keraton, yaitu di perumahan Madukismo. Setelah menyelesaikan studinya di bidang kuliner di Australia, ia menikah dengan pengusaha restoran dan floris, KPH Purbodiningrat, dan dianugerahi gelar GKR Maduretno. Perannya dalam keraton menjadi Wakil Pengageng Panitikismo, atau lembaga yang mengurusi agraria keraton. Berikutnya kami berbincang dengan putri keempat dan kelima, GKR Hayu dan GKR Bendara.

Cantik, pintar, dan bersahabat, itulah gambaran sosok keduanya. Tumbuh dan besar di lingkungan tembok keraton, tak membuat kedua putri terakhir Sultan HB X ini menjadi sosok yang manja. Saat ini GKR Hayu menjabat sebagai Pengageng di Tepas Tandha Yekti, bagian IT keraton. Tentu saja itu sesuai bidang studi S2 yang digelutinya saat ini. GKR Hayu mencoba mendekatkan keraton dengan jamannya kini, di era digital. Sedangkan GKR Bendara, selain menjabat sebagai Wakil Pengageng di Tepas Nityo Budoyo, lembaga keraton yang mengurusi museum dan pariwisata, ia pun juga dipercaya keempat saudarinya untuk mengelola sebuah usaha bersama berupa Rumah spa unik yang terinspirasi dari warisan keraton. Keduanya adalah putri keraton masa kini, mereka berjuang mempertahankan eksistensi keraton di tengah kerasnya gempuran modernisasi dengan cara mereka sendiri.

Simak selengkapnya Sudut Pandang bersama Fifi Aleyda Yahya dalam Episode "Di Balik Tembok Keraton" | Sabtu, 16 Agustus 22.30 Wib



Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
dan follow Channel WhatsApp Medcom.id

Sudut Pandang

Sudut Pandang