KEJERNIHAN berpikir dan ketulusan hati kini semakin menjauhi sanubari para elite negeri ini. Yang dipamerkan tanpa malu-malu ialah sikap curiga dan mencari-cari kesalahan, termasuk mencari kelemahan program Presiden Joko Widodo.
Program Jokowi yang paling disorot ialah paket bantuan langsung warga miskin dan hampir miskin melalui bantuan keluarga, pendidikan, dan kesehatan. Paket bantuan yang diluncurkan pada 3 November itu berupa kartu keluarga sejahtera (KKS), kartu Indonesia pintar (KIP), dan kartu Indonesia sehat (KIS). Kartu-kartu itu kerap disebut sebagai kartu sakti Jokowi.
Paket bantuan itu diluncurkan hanya dalam tempo 14 hari setelah Jokowi dilantik menjadi presiden. Itulah wujud pemenuhan janji kampanye presiden. Bila berjalan sesuai dengan rencana, kartu sakti Jokowi itu dapat mengurangi jumlah orang miskin.
Bukan acungan jempol, melainkan kritik serampangan yang diberikan sejumlah anggota DPR atas program Jokowi. Mereka mempersoalkan dasar hukum paket bantuan langsung warga miskin dan hampir miskin. Bahkan, ada yang menyebut kartu sakti Jokowi cacat hukum.
Harus tegas dikatakan bahwa setiap program yang bertujuan meningkatkan harkat dan martabat kemanusiaan setiap rakyat wajib didukung. Tidak boleh seorang pun menghambat program yang membuat orang miskin tersenyum bahagia. Dasar hukumnya tidak perlu dicari-cari lagi, itu sudah tersurat dalam konstitusi dan untuk itulah negara ini dimerdekakan.
Keserampangan lain ialah DPR sebagai institusi pembuat undang-undang bersama pemerintah tentu tahu persis dasar hukum kartu sakti Jokowi. Jika sudah tahu tapi tetap bertanya, itu namanya sudah gaharu cendana pula, sudahlah tahu bertanya pula. Itu cari gara-gara namanya.
Dasar hukum kartu sakti Jokowi ialah Undang-Undang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan (APBN-P) 2014. Kita sepakat dengan penjelasan Menteri Keuangan Bambang Permadi Soemantri Brodjonegoro bahwa KIS dan KIP lebih sebagai sistem penyaluran program perlindungan sosial. Basis programnya ialah Jaminan Kesehatan Nasional dan Bantuan Siswa Miskin yang anggarannya sudah dialokasikan.
Terang-benderang sudah, yang dipersoalkan dewan sesungguhnya nomenklatur program yang dibungkus dengan apik di balik basis legalitas. Nomenklatur mengganggu zona nyaman sebagian anggota dewan karena kesamaan nama dengan program kampanye Jokowi.
DPR tidak perlu mempersoalkan nomenklatur kartu sakti Jokowi karena kewenangan dewan atas program dalam APBN sudah dilucuti Mahkamah Konstitusi. Hak konstitusional dewan ialah mengawasi apakah kartu sakti Jokowi itu tepat sasaran atau terjadi penyimpangan. Itu artinya ketika mempersoalkan penggunaan anggaran untuk program kartu sosial Jokowi, anggota dewan telah melampaui kewenangan.
Pengawasan yang baik tentu saja dibangun di atas basis kejernihan berpikir dan ketulusan hati, bukan di atas fondasi rasa dengki yang dibalut asas legalitas. Sepandai-pandainya membungkus bingit, aromanya tetap menembus batas ruang dan waktu. Kritik anggota DPR berbasis dengki hanya membuat rakyat darting, alias darah tinggi.
Orang kritis tidak serampangan menyalahkan dan membenarkan sesuatu. Semua diselidiki dan diteliti lebih dahulu. Rakyat mendambakan anggota dewan yang kritis.